Makalah Pengaduan, Perlindungan Hukum dan Penghargaan (Pendidikan Anti Korupsi)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Praktik korupsi di Indonesia telah terjadi sejak masa kerajaan di wilayah nusantara bahkan telah tersistematisasi mulai pada masa VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun telah merdeka, tidak menjadikan wilayah nusantara terbebas dari praktik dan budaya korupsi, sebab faktanya korupsi semakin merajalela. Salah satu produk hukum yang menjadi legitimasi korupsi yang  dikeluarkan oleh Soeharto adalah Keppres (Keputusan Presiden), yang semestinya dibuat untuk menciptakan tatanan yang lebih baik, tetapi kenyataan menunjukan bahwa Keppres yang mempunyai kekuatan layaknya undang-undang tersebut dibuat untuk kepentingan keluarga dan kroni-kroni Soeharto sendiri.
Upaya pemberantasan korupsi bukan persoalan yang mudah, upaya untuk memberantas korupsi sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 1950 an, oleh Jaksa Agung Suprapto, yang sudah melakukan berbagai tindakan terhadap para koruptor, yang telah berakhir dengan penuntutan terhadap beberapa orang menteri pada waktu itu, antara lain Menteri Penerangan Syamsudin Sutan Makmur, Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo, dan lain-lain.
Dilihat dari sejarah mengenai korupsi di Indonesia, maka masalah korupsi ini tidak dapat lagi di golongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa, tetapi di butuhkan cara-cara yang luar biasa (extra-ordinary enforcement). Komisi Pemberantasana Korupsi diberikan kewenangan dan tugas yang luar biasa (extra ordinary), bagi pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan yang luar biasa. Namun, pola pemberantasan korupsi kenyataannya tidak bisa dilakukan hanya oleh instansi tertentu namun membutuhkan pelaksanaan secara komprehensif dan bersama-sama oleh lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat.
Terkait masalah tersebut, masyarakat juga dapat berkontribusi memberantas korupsi diantaranya dengan melakukan pengaduan tindak pidana korupsi dengan tata cara pengaduan yang akan dibahas pada makalah ini. Akan dibahas juga mengenai perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi beserta penghargaan bagi pelapor tindak pidana korupsi.

B. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian tindak pidana korupsi ?
  2. Apa pengertian whistleblower ?
  3. Bagaimana peran whistleblower di Indonesia ?
  4. Bagaimana tata cara pengaduan tindak pidana korupsi ?
  5. Bagaimana perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi ?
  6. Apa penghargaan yang akan diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi ?


C. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pengertian tindak pidana korupsi.
  2. Untuk mengetahui pengertian whistleblower.
  3. Untuk mengetahui peran whistleblower di Indonesia.
  4. Untuk mengetahui tata cara pengaduan tindak pidana korupsi.
  5. Untuk mengetahui terkait perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi.
  6. Untuk mengetahui terkait penghargaan yang akan diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di daerah, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat. Korupsi sendiri berasal dari kata corruptio atau corruptus yang memiliki arti kerusakan atau kebobrokan. Pengertian korupsi menurut masyarakat awam adalah suatu tindakan mengambil uang negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. Akan tetapi menurut buku yang menjadi referensi bagi penulis, pengertian korupsi yang dikutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Akan tetapi korupsi juga mempunyai beberapa macam jenis, menurut Beveniste dalam Suyatno korupsi didefenisikan dalam 4 jenis yaitu sebagai berikut:

  1. Discretionery corupption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah. Contoh : Seorang pelayan perizinan Tenaga Kerja Asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada ”calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberi pendapatan tambahan. 
  2. Illegal corupption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi hukum. Contoh: di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses itu tidak dimungkinkan. Untuk pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa digunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada kecanggihan memainkan kata-kata, bukan substansinya.
  3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh: Dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang mempunyai kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan untuk memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan uang ”sogok” atau ”semir” dalam jumlah tertentu.
  4. Ideologi corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar  tujuan kelompok. Contoh: Kasus skandal watergate adalah contoh ideological corruption, dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka terhadap presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset-aset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum.
Dari penjelasan mengenai pengertian korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
- Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana.
- Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

B. Pengertian Whistleblower
Istilah Whistleblower pasti akan terdengar asing di telinga kita, namun faktanya Whistleblower ini memiliki peran penting dalam hal memecahkan kasus korupsi. Sejarah dari whistleblower pertama kali muncul di Inggris, yaitu ketika praktek petugas Inggris yang meniup peluit ketika mereka melihat kejahatan, peluit juga akan memberitahu aparat penegak hukum lainnya dan masyarakat umum dari bahaya. Sehingga kemudian whistleblower dikonotasikan sebagai “peniup peluit”.
Apabila diposisikan di Indonesia, bisa dianalogikan sebagai “pemukul kentongan”, dimana pemukulan kentongan oleh aparat pengamanan tradisional (patroli keliling) dilakukan untuk memberikan tanda pemberitahuan bahwa telah terjadi suatu peristiwa, baik berupa kejahatan maupun bencana. Oleh karena itu berdasarkan kedua konotasi tersebut dapat dikatakan bahwa whistleblower identik dengan pengungkap fakta atau pembocor sebuah rahasia.
Sementara itu Imam Thurmudhi berpendapat bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan iktikad baik mengungkapkan kepada public atau melaporkan kepada pejabat yang berwenang. Mardjono Reksodipuro menyebut whistleblower sebagai pembocor rahasia atau pengadu.
Quentin Dempster, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan whistleblower adalalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta di lapangan, atau polisi lalu lintas yang hendak melakukan tilang kepada seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan  musuh dengan bersiul, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran. pada intinya Quentin Dempster menyebut whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada public mengenai sebuah skandal, malpraktik, atau korupsi.
Dalam perkembangannya, pengertian whistleblower dijelaskan di beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya:

  1. Di Dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) dijelaskan  No. 4 Tahun 2011 yang dimaksud dengan whistleblower adalah pelapor tindak pidana.
  2. Dalam undang-undang No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa  whistleblower adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan.
  3. Whistleblower dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan  atau ia alami sendiri.
Dari beberapa pengertian whistleblower di atas dapat penulis simpulkan bahwa whistleblower merupakan orang yang melihat kejadian (tindak pidana korupsi) secara langsung yang nantinya akan dimintai keterangan oleh pihak berwenang dalam hal kepentingan pemeriksaan.

C. Peran Whistleblower di Indonesia
Tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukkan skala yang sangat tinggi. hal ini berimplikasi terhadap pengungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari cara-cara konvensional. Adapun salah satu cara untuk mengungkap tindak pidana korupsi tersebut yaitu dengan adanya whistleblower. Hal ini akan memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. 
Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan suatu isu bagi pengungkapan korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam rumor. Sehingga dalam hal ini apabila penyidik atau penuntut umum mendapat laporan dari seorang whistleblower harus berhati-hati dalam menerimanya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu diterima, melainkan harus diuji terlebih dahulu.
Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena whistleblower itu merupakan “orang dalam” pada sebuah institusi dimana diduga sebuah praktek korupsi terjadi. Sebagai “orang dalam” maka whistleblower memahami kronologi perkara korupsi.

D. Tata Cara Pengaduan Tindak Pidana Korupsi
Definisi pengaduan atau laporan ini tidak hanya merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang memberitahukan tentang terjadinya tindak pidana. Sebab, setiap orang yang merasa dirugikan atas perbuatan pidana yang dilakukan pihak lain berhak mengadukan atau melaporkan peristiwa kepada aparat penegak hukum. Namun, pengaduan/pelaporan dalam konteks ini merujuk pada pengertian secara umum yang merupakan tindak pemberitahuan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kepada pejabat/instansi yang berwenang tentang adanya penyimpangan yang dilakukan oleh aparat terkait pelayanan publik. Tindakan pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar penyimpangan yang terjadi dapat ditindaklanjuti oleh pejabat pengawas yang berwenang. Pada prinsipnya setiap orang berhak mengadu atau membuat laporan apabila merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat, pegawai, pejabat, petugas, profesi tertentu yang melaksanakan tindakan pelayanan publik. Pihak-pihak yang dapat mengadu atau melapor antara lain sesorang atau keluarganya, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi politik, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Secara umum lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah atau swasta dilaksanakan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang sejak terbitnya UU No.37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, perubahan menjadi ORI.
Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis. Walaupun peraturan yang ada menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara lisan, tetapi untuk lebih meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu perkara, maka pengaduan yang diterima masyarakat hanya berupa pengaduan tertulis. Format penyampaian pengaduan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Identitas Pelapor atau Pemberi Informasi Pengaduan. Untuk memudahkan tindak lanjut, dan jika diperlukan adanya penjelasan lebih dalam, maka wajib disertakan identitas diri pelapor. Identitas yang perlu disampaikan dalam pelaporan, mencakup nama, pekerjaan, alamat rumah dan tempat bekerja, telepon yang dapat dihubungi, serta identitas lain yang dianggap perlu. Pengaduan melalui telpon, Fax, e-mail, dan SMS akan ditindak-lanjuti apabila telah disusulkan dengan data lengkap, sesuai dengan PP No.71/2000 pasal 2 dan 3.
  2. Pengungkapan Materi Pengaduan. Laporan setidaknya mengungkap jenis penyimpangan, fakta/proses kejadian, penyebab dan dampak (kerugian negara yang ditimbulkan)
  3. Alat dan barang bukti. Jika ada, laporan dapat disertai alat bukti, Pasal 184 ayat (1) KUHP merujuk beberapa alat/barang bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Sedangkan didalam UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 26A , dikenal juga bukti lain dan tidak terbatas pada informasi/data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

E. Perlindungan Hukum Bagi Pengadu Tindak Pidana Korupsi
Adanya jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap masyarakat harus berlaku secara meluas, baik dari ancaman yang berasal dari luar wilayah Indonesia, maupun dari dalam wilayah Indonesia. Di samping itu, perlindungan ini harus pula diberikan baik dari serangan terhadap masyarakat Indonesia secara keseluruhan, maupun terhadap individu masing-masing. Salah satu konkretisasi dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakatnya (warga negara) adalah pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakatnya dari segala bentuk kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya yang mungkin dialami.
Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban oleh instansi yang berwenang. Pelapor atau pengadu tindak pidana korupsi ini nantinya akan dilindungi baik secara fisik maupun psikis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa perlindungan ini diberikan untuk menghindari bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan saksi atau korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang menyangkut pemberian kesaksiannya pada saat proses peradilan pidana.
Terkait perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi, terdapat lembaga yang bertugas dan berwenang untuk menjalankan tugas tersebut. Lembaga tersebut adalah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Dalam hal tindak pidana korupsi, upaya perlindungan terhadap saksi yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diperlukan demi tercapainya proses penegakan hukum. Peranan tersebut tercermin dari dimulainya proses penegakan hukum karena adanya permohonan dari saksi atau korban.
Hukum Acara Pidana sebagai prosedur penegakan hukum di Indonesia belum mengatur secara tegas perlindungan saksi. Pentingnya kedudukan saksi pelapor dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi pertimbangan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.
LPSK dapat memperhatikan kepentingan whistleblower untuk mendapatkan perlindungan, keadilan dan pemulihan hak-haknya. Selain itu LPSK juga dapat rmeningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana dengan menciptakan suasana yang kondusif agar setiap orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana atau menjadi korban tindak pidana memiliki kemauan dan keberanian untuk melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor (whistleblower) pada perkara korupsi agar berani memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses pemeriksaan perkara pidana tanpa mengalami ancaman atau tuntutan hukum. Ketersediaan mekanisme sangat penting guna mendukung kewenangan LPSK dalam menjamin diperolehnya kebenaran materiil sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait. Penegakan hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang memadai demi menjamin proses penegakan hukum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak larinya tersangka koruptor, hingga terselamatkannya aset negara yang dikorupsinya. Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan. Beberapa instrumen perlindungan hukum bagi whistleblower diantaranya:

  1. UNCAC (United Nation Convention Against Corruption). Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan instrument hukum internasional tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower, terutama yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tercantum dalam Article 37 section 3 tentang Cooperation with law enforcement authorities yang menjelaskan Each State Party Shall consider providing for the possibility, in accordancewith fundamental principles of the domestic aw, of granting immunity form prosecution to a personwho provides substansial cooperation in the investigation of an offence established in accordance with this convention. (setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang-orang  yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan). Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini menjadi undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi PBB anti korupsi
  2. SEMA No. 4 Tahun 2011 . SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) ini mengatur tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Dalam SEMA dijelaskan mengenai perlakuan berbeda terhadap whistleblower, yaitu apabila pelapor dilaporkan oleh terlapor, maka penanganan perkara atas tindak pidana pelapor didahulukan daripada laporan yang diajukan kembali oleh terlapor.
  3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban . Undang-undang ini merupakan perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2006 yang mana didalamnya mengatur mengenai pelapor. Pelapor dalam undang-undang ini tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata atass keterangan yang akan, sedang, atau telah disampaikannya.
  4. Peraturan bersama Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK Tentang perlindungan bagi saksi pelapor, pelapor, dan pelaku yang bekerjasama. Meskipun peran LPSK terhadap whistleblower sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum, namun sistem dan kondisi hukum di Indonesia ternyata belum memberikan jaminan perlindungan yang semestinya terhadap keamanan dan keselamatan mereka, sebab UU No. 13 Tahun 2006 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memberikan pelindungan hukum yang ideal dan proporsional bagi keberadaan whistleblower. Jika pelindungan atas keamanan dan keselamatan para whistleblower dapat dijalankan, maka potensi untuk mengungkapkan berbagai kasus korupsi akan berjalan lancar. Undang-undang hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan proses seleksi LPSK, pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak mengatur secara jelas mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan, administrasi, serta tranparansi dan akuntabilitas dari LPSK.
Muladi menyatakan bahwa perlunya pengaturan dan perlindungan hukum bagi saksi dan korban tindak pidana dapat dibenarkan secara sosiologis bahwa dalam kehidupan bermasyarakat semua warga Negara harus berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai system kepercayaan yang melembaga (system of in instuitutionalizet trust). Tanpa kepercayaan ini, kehidupan sosial tidak mungkin berjalan baik, sebab tidak ada pedoman atau patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan (organisasi) seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga koreksi dan sebagainya. 

F. Penghargaan Atas Partisipasi Publik
Salah satu grand strategy KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yaitu dengan melakukan upaya pencegahan terintegrasi, upaya penindakan terintegrasi, serta upaya pencegahan dan penindakan korupsi terintegrasi.  Strategi tersebut tentu dapat tercapai dengan adanya kerjasama lembaga atau instansi serta dukungan publik dengan berpartisipasi secara aktif dalam upaya mencegah dan memerangi korupsi. 
Partisipasi masyarakat (publik) memiliki peran yang besar dalam pencapaian grand strategy KPK.  Pencegahan dan pemberantasan korupsi memerlukan sinergi dan kesamaan persepsi dari seluruh komponen bangsa, termasuk di dalamnya peran serta masyarakat.  Pada kegiatan yang sifatnya represif, masyarakat dapat langsung menjadi pelapor dugaan tindak pidana korupsi, terutama yang terjadi pada birokrasi dan layanan publik.  Sedangkan dari sisi pencegahan (preventif), tindakan dapat dimulai dari kesadaran diri untuk mematuhi hukum dan menjauhi tindakan koruptif.
Untuk memberi motivasi yang tinggi kepada masyarakat, maka dalam Peraturan Pemerintah diatur pula pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi berupa piagam dan atau premi.
Masyarakat (publik) diharapkan dapat menerapkan budaya antikorupsi mulai dari keluarga dan menjadi agen perubahan untuk mengubah perilaku koruptif serta menyebarluaskan program antikorupsi di lingkungannya.  Lebih dari itu, masyarakat pun diharapkan berperan aktif melaporkan dugaan korupsi kepada penegak hukum.

Penghargaan bagi Partisipasi Publik Dalam Upaya Menumbuhkan Budaya Anti Korupsi.
Walaupun dimulai dari lingkup terkecil, namun apabila di berbagai daerah mulai ditumbuhkan budaya anti korupsi, tentunya hal tersebut akan berdampak besar sebagaimana teori tentang sapu lidi, apabila hanya sebatang tentu akan mudah dipatahkan namun jika menjadi satu ikat maka akan sulit dipatahkan bahkan dapat membersihkan sampah-sampah yang berserakan. Ada banyak kegiatan/program/tindakan yang dapat dilakukan masyarakat (publik) untuk ikut berperan dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi diantaranya:
-Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;
-Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; 
-Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
-Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam  pemberantasan tindak pidana korupsi.

Upaya menumbuhkan budaya anti korupsi dalam rangka pencegahan korupsi yang dilakukan masyarakat (publik) dilakukan dengan kemasan kegiatan/program yang variatif. Beberapa kegiatan/program yang sudah dilakukan tersebut diantaranya games anti korupsi yang dibuat oleh Fahma Waluya Rosmansyah, seorang siswa kelas 2 SMP Negeri Bandung, warung kejujuran oleh Mukti Murah Harjo di Kediri (Jawa Timur), kampung anti korupsi yakni kampung Prenggan di Yogyakarta, musik anti korupsi oleh Slank (Seperti Para Koruptor) dan Iwan Fals (Bento, Bongkar, Oemar Bakrie, Surat Buat Wakil Rakyat, sekolah anti korupsi yang dibentuk ICW, dan masih banyak program lainnya.

Adapun bentuk-bentuk penghargaan berdasarkan penilaian atau rekomendasi yang diberikan dalam upaya pencegahan korupsi yang diprakarsai oleh masyarakat yang sudah ada, diantaranya:
Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA)
Perkumpulan BHACA yang berdiri pada 9 April 2003 ini memberikan Bung Hatta Anti-Corruption Award kepada pribadi yang memiliki kriteria sebagai berikut:
Bersih dari praktek korupsi, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya, menyuap atau menerima suap;
Berperan aktif, memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat atau lingkungannya dalam pemberantasan korupsi.
Beberapa tokoh yang pernah diberi penghargaan antara lain : Tri Risma Harini dan Yoyok Riyo Sudibyo (2015), Nur Pamudji dan Basuki Tjahaja Purnama (2013), Herry Zudianto dan Joko Widodo (2010)
Berdasarkan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 Peraurtan Pemerintah Nomor  71 Tahun 2000, publik (setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat) yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan, dapat berupa piagam ataupun premi.  Namun demikian pemberian penghargaan/apresiasi dapat pula dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi dan bahkan tidak pula menutup kemungkinan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan yang sudah ada atau membuat petunjuk pelaksanaannya.
Bentuk penghargaan ini dapat dibedakan untuk masing-masing kategori/kriteria sesuai dengan manfaat yang dapat diperoleh, misalnya:
Piagam dan Lencana untuk semua kategori
Beasiswa pendidikan untuk kategori tokoh atau organisasi/komunitas
Dana bantuan untuk kategori produk/program

Penghargaan bagi Partisipasi Publik Dalam Upaya Pencegahan Korupsi
Laporan dari masyarakat (publik) perlu diapresiasi dengan memberikan penghargaan, namun mengingat sifatnya yang tertutup (rahasia) tentu ketentuan-ketentuannya pun berbeda dengan pencegahan korupsi dalam rangka menumbuhkan budaya anti korupsi, namun tetap harus ada kategori, syarat, mekanisme, dan rekomendasi yang diatur.
Keberanian yang dilakukan oleh 5 (lima) siswa SMU 3 Yogyakarta yang melaporkan kebocoran Soal Ujian Nasional tahun 2015 ini, padahal para siswa yang mendapat bocoran soal UN itu memiliki kesempatan menggunakannya. Namun integritas yang dimiliki mendorong sikap berani dan jujur tentunya tidak lepas dari peran serta pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah, rumah ataupun lingkungannya. Oleh karena itu tidak berlebihan sekiranya KPK memberikan penghargaan kepada mereka dengan menyematkan pin “berani jujur hebat”. Kelak apa yang dilakukan para siswa tersebut dapat menjadi teladan dan contoh bagi siswa-siswa lain terutama juniornya. Yang telah menunjukkan bahwa perbuatan mencontek menggunakan bocoran adalah tercela dan merupakan bibit bibit prilaku koruptif.

Bentuk penghargaan ini dapat dibedakan untuk masing-masing kategori/kriteria, misalnya:
Piagam dan Lencana untuk semua kategori
Perlindungan hukum, misalnya perlindungan selama menjadi  saksi suatu kasus, pendampingan selama pelaporan.
Perlindungan fisik, misalnya penempatan di rumah aman, pemberian bantuan medis

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Whistleblower memiliki arti sebagai peniup peluit, hal ini merupakan sebuah konotasi bahwasanya whistleblower merupakan seorang pengungkap fakta, atau yang sering disebut oleh masyarakat umum dengan kata pelapor. Whistleblower dapat menjadi langkah strategi dalam pemberantasan tipikor. Dalam rangka menciptakan rasa aman bagi pelapor atau pengadu tindak pidana korupsi maka dilakukan perlindungan hukum oleh instansi yang berwenang. Di Indonesia sendiri terdapat LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang berwenang atau bertugas melindungi pelapor atau pengadu tindak pidana korupsi baik secara fisik maupun psikis. 
Untuk meningkatkan partisipasi publik dalam upaya membangun budaya anti korupsi dan mencegah tindak pidana korupsi, maka KPK memiliki grand strategy berupa pemberian penghargaan kepada pelapor tindak pidana korupsi maupun pihak-pihak yang berpartisipasi dalam menginspirasi budaya anti korupsi. 

B. Saran
Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satunya adalah dengan menjadi whistleblower/saksi pelapor.
Bagi Pemerintah
Mengingat bahwa resiko dari whistleblower berbeda dengan saksi biasa, karena itu diperlukan lembaga yang secara khusus/independen untuk menangani dan melindungi whistleblower dengan penuh tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Moch Reza. 2012 Perlindungan Hukum Terhadap Para Pelaku Whistleblower Pada Tindak Pidana Korupsi. Surabaya: Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.
Agustin, Risa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Serba Jaya.
Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi. Jakarta: Percetakan Negara R.I.
Darmono. 2011. Komitmen Kejaksaan RI Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban Tindak Pidana. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban.
Dempster, Quentin. 2006. Whistleblower (Para Pengungkap Fakta). Jakarta: Elsam.
Djaja, Ermansyah. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasibuan, Fauzie Yusuf. 2002. Strategi Penegakan Hukum. Jakarta.
Mansur, Dikdik M. Arief, & Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada.
Muladi (selanjutnya disebut Muladi II). 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Nasution, Adnan Buyung. 2003. Makalah disampaikan Dalam Contuinning Law Education (CLE), Pemberantasan Korupsi Menunggu Sang Ratu Adil?. Jakarta: BPHN
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi. Bandung: Mandar Maju.
Rahmat. 2012. Kesaksian. Majalah Kesaksian Edisi II
Reksodipuro, Mardjono. Pembocor Rahasia/Whistleblower Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia. Jakarta: Wacana Goverminyboard.
Syarbini, Amirullah, dan Muhammad Arbain. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Bandung: Alfabeta.
Turmudhi, Imam. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tesis, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
Yesicha, Margaretha. 2014. Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tipikor. Yogyakarta: Jurnal Universitas Atma Jaya.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 71. 2000. Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia. 2006. Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-undang Nomor 31. 1999. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 31. 2014. Perlindungan Saksi dan Korban.
Mal Thes Zumara. 2006. Fungsi LPSK dalam Kasus Pelanggaran HAM Dikaitkan dengan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Repository UNAND.http://repository.unand.ac.id/17037/1/FUNGSI_LEMBAGA_PERLINDUNGAN_SAKSI_DAN_KORBAN.pdf
Patricia Vicka. 2015. KPK Beri Penghargaan Kepada Siswa Pelapor Kebocoran UN. http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/04/22/389675/kpk-beripenghargaan-kepada-siswa-pelapor-kebocoran-un.
Putra Juddin. 2014. Pengaduan dalam Pelayanan Publik. http://googleweblight.com/?lite_url=http://putrajuddin.blogspot.com/2014/11/pengaduan-dalam-pelayanan-publik.html
Sugeng Riyadi Syamsudien. 2015. Prosedur Pengaduan Tindak Pidana Korupsi; Sebuah Wawasan Menanggapi Darurat Korupsi. https://iqtishaad.blogspot.co.id/2015/06/prosedur-pengaduan-tindak-pidana.html?m=1
Surastini Fitriasih. Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil. http://www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Potensi Pluralitas Masyarakat Indonesia

Makalah Penelitian Fenomenologis dan Historis