Makalah Faktor-faktor Penyebab Konflik Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat selalu mengalami proses sosial yang merupakan hasil interaksi di antara individu serta antar kelompok. Keseluruhan dari proses sosial tadi akan menumbuhkan berbagai perubahan, baik yang sifatnya progresif maupun regresif. Proses sosial juga dapat berlangsung secara asosiatif maupun disasosiatif. Proses yang asosiatif akan menghasilkan integrasi, sedangkan yang disasoiatif akan menghasilkan persaingan, sikap kontroversial, bahkan terjadi konflik.[1]
Konflik sosial dapat terjadi di dalam masyarkat baik pada masyarakat primitif, masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Akan tetapi, pada masyarakat tradisional konflik lebih bersifat sporadis dan berkaitan erat dengan tradisi-tradisi dan prinsip-prinsip kehidupan, sedangkan pada masyarakat modern konflik sosial lebih condong disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat politik dan ekonomi. Permasalahannya adalah bagaimana agar konflik yang terjadi tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat dan dapat terselesaikan dengan adil dan beradab yang dapat memperbaiki tata kehidupan pada masa-masa berikutnya. Untuk dapat merealisasikan hal tersebut, tentunya kita harus tau apa penyebab suatu individu atau masyarakat terlibat dalam sebuah konflik. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya konflik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian konflik ?
2.      Apa saja bentuk-bentuk konflik ?
3.      Apa saja faktor penyebab terjadinya konflik ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian konflik
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk konflik
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya konflik



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konflik
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.  Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.[2] Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.[3]
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.[4] Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.[5]
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.[6]
Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.[7]
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan.
Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas.
Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

B.     Bentuk-bentuk Konflik
Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :
a.       Berdasarkan sifatnya
1.      Konflik Destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2.      Konflik Konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.[8]
b.      Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
1.      Konflik Vertikal
Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.
2.      Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
3.      Konflik Diagonal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.[9]
Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
1.      Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2.      Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
3.      Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4.      Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5.      Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.[10]
Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
2.      Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3.      Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.
4.      Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional.[11]

C.    Faktor-faktor Penyebab Konflik
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.[12]
Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:
1.      Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
2.      Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.[13]
Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik, diantaranya yaitu:
1.      Perbedaan pendirian dan keyakinan.
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar individu.[14] Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik sosial.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut. Kamu yang bertindak selaku moderator melakukan interupsi dan mencoba meluruskan pertanyaan untuk kembali ke permasalahan pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi menganggap kelompokmu payah dan tidak siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan pandangan dan pendirian tersebut akan menimbulkan perasaan amarah dan benci yang apabila tidak ada kontrol terhadap emosional kelompok akan terjadi konflik.
2.      Perbedaan kebudayaan.[15]
Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas.
Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial.
Contohnya adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan kata lain meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.
Contoh lain misalnya pada kebudayaan Jawa, saat anak di nasehati orang tuanya hendaknya sang anak menunduk, dan akan dianggap sangat tidak sopan jika menatap langsung ke mata orang tua yang menasehati. Sedangkan pada kebudayaan Batak, sang anak justru dianggap tidak sopan ketika tidak menatap mata langsung sewaktu dinasehati. Coba bayangkan jika seorang anak batak, yang sedang dinasehati oleh orang tua Jawa.
3.      Perbedaan kepentingan.
Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.[16]
Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri Indonesia untuk mengikuti kontes ‘Ratu Sejagat’ atau ‘Miss Universe’. Dalam hal ini pemerintah menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai kepentingan untuk promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum agamis menolak pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau adat ketimuran (bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru merelakan wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah satu persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian untuk berenang).
4.      Perbedaan Struktur Ideologi.[17]
Istilah idiologi dapat berarti prinsip-prinsip hidup yang dimiliki seorang individu ataupun kelompok. Ideologi dalam konteks kenegaraan merupakan prinsip-prinsip dalam menyelenggarakan tata kehidupan suatu negara. Perbedaan ideologi menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi yang dapat menjadi sumber terjadinya konflik. Perbedaan ideologi antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan perbedaan pola pikir di antara kedua belah pihak. Selanjutnya dengan perbedaan pola pikir di antara kedua belah pihak teresebut akan melahirkan pola aktivitas yang berbeda-beda dan saling berhadapan untuk suatu kepentingan. Setiap struktur ideologi apapun bentuknya mengandung 3 komponen pokok yaitu:
a.       Adanya paham dasar yang diyakini
b.      Adanya sejumlah pengikut yang setia terhadap paham dasar tersebut
c.       Aktivitas kesetiaan terhadap ajaran tersebut dalam bentuk loyalitas dan dedikasi yang sangat mendalam
Akibat adanya 3 unsur di atas maka memungkinkan adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan pengembangan paham dasar yang diyakini dari satu kelompok yang satu dengan kelompok lain. Disinilah titik terjadinya konflik antar kelompok ideologi. Contoh: konflik antara paham komunis dengan paham kiberalisme dan demokrasi.
5.      Perubahan sosial yang terlalu cepat.
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Misalnya adanya proses industrialisasi pada masyarakat pedesaan yang mendadak akan menyebabkan terjadinya konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat yang biasanya bercorak pertanian berubah dengan cepat menjadi masyarakat bercorak industi. Nilai-nilai masyarakat yang mengalami perubahan seperti seperti nilai kegotongroyongan yang diubah menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan dengan pekerjaannya.
Contoh lain misalnya kenaikan BBM atau tarif listrik, termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang kurang siap dan kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan tersebut.
6.      Persaingan penggunaan sumber daya.
Kebutuhan manusia modern saat ini semakin meningkat dan hampir tidak ada batasnya. Sedangkan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sangat terbatas. Tiap hari manusia memerlukan bahan bakar untuk transportasi mereka, untuk energi listrik, batu-batuan dan kayu untuk tempat tinggal, dan sebagainya.
Sedangkan pembaharuan sumber daya alam tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, tidak sebanding permintaan masyarakat yang terus meningkat. Akibatnya para kelompok atau individu yang berkepentingan berlomba untuk dapat menguasai sumber daya yang menguntungkan. Pada proses penguasaan ini, tidak jarang menjadi konflik dalam masyarakat.
7.      Persaingan kedudukan dan peranan.
Apabila dalam diri seseorang atau kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan terpandang maka terjadilah persaingan. Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung pada apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.  Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial.
Untuk dapat menyelesaikan konflik, maka perlu diketahui kenapa konflik dapat terjadi. Diantara penyebab-penyebab terjadinya konflik secara sederhana dibagi menjadi 2 yakni:
1.      kemajemukan horizontal
2.      kemajemukan vertikal
Sementara itu menurut beberapa sosiologi terdapat beberapa penyebab konflik, diantaranya:
1.      Perbedaan pendirian dan keyakinan
2.      Perbedaan kebudayaan
3.      Perbedaan kepentingan
4.      Perbedaan struktur ideologi
5.      Perubahan sosial yang terlalu cepat
6.      Persaingan penggunaan sumber daya
7.      Persaingan kedudukan dan peranan




Daftar Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka.
Kusnadi. 2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang: Taroda.
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Lawang, Robert. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: universitas terbuka.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2005. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Susanto, Astrid. 2006. Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
T., Priyono. 2012. Sosiologi untuk Kelas XI SMA/MA. Jawa Timur: Masmedia.
Zeitlin, Irving M. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


[1] Priyono T,  Sosiologi untuk Kelas XI SMA/MA, (Jawa Timur: Masmedia, 2012), hlm. 41
[2] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 345.
[3] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 156
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 587
[5] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 99
[6] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 68
[7] Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta:universitas terbuka 1994), hlm. 53
[8]  Dr. Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001), hlm. 98
[9]  Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, (Malang : Taroda, 2002), hlm. 67
[10] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 86
[11]  Dr. Robert H. Lauer, op.cit., hlm. 102
[12] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op.cit., hlm. 361
[13] Ibid, hlm. 361
[14] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, op.cit., hlm. 68
[15] Ibid, hlm. 68
[16] Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial, (Bandung:Bina Cipta, 2006), hlm. 70
[17] Priyono T., op.cit, hlm. 43

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Potensi Pluralitas Masyarakat Indonesia

Makalah Penelitian Fenomenologis dan Historis

Makalah Pengaduan, Perlindungan Hukum dan Penghargaan (Pendidikan Anti Korupsi)