Makalah Faktor-faktor Penyebab Konflik Sosial
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap
masyarakat selalu mengalami proses sosial yang merupakan hasil interaksi di
antara individu serta antar kelompok. Keseluruhan dari proses sosial tadi akan
menumbuhkan berbagai perubahan, baik yang sifatnya progresif maupun regresif.
Proses sosial juga dapat berlangsung secara asosiatif maupun disasosiatif.
Proses yang asosiatif akan menghasilkan integrasi, sedangkan yang disasoiatif
akan menghasilkan persaingan, sikap kontroversial, bahkan terjadi konflik.[1]
Konflik
sosial dapat terjadi di dalam masyarkat baik pada masyarakat primitif,
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Akan tetapi, pada masyarakat
tradisional konflik lebih bersifat sporadis dan berkaitan erat dengan
tradisi-tradisi dan prinsip-prinsip kehidupan, sedangkan pada masyarakat modern
konflik sosial lebih condong disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat
politik dan ekonomi. Permasalahannya adalah bagaimana agar konflik yang terjadi
tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat dan dapat terselesaikan
dengan adil dan beradab yang dapat memperbaiki tata kehidupan pada masa-masa
berikutnya. Untuk dapat merealisasikan hal tersebut, tentunya kita harus tau
apa penyebab suatu individu atau masyarakat terlibat dalam sebuah konflik.
Sehingga dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya konflik.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian konflik ?
2.
Apa saja bentuk-bentuk konflik ?
3.
Apa saja faktor penyebab terjadinya konflik ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian konflik
2.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk konflik
3.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
terjadinya konflik
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Konflik
merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang
dan waktu, dimana saja dan kapan saja.
Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena
pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik
dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan
sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya
persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Di
dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan
yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan
sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat
diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat
diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan
yang terkecil hingga peperangan.
Istilah
“konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti
bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.[2] Pada
umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan
dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional.
Coser
mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.[3]
Konflik
artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial
yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh
dikehidupan.[4]
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan,
tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.[5]
Dalam
pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung
dengan melibatkan orang-orang atau kelompok kelompok yang saling menantang
dengan ancaman kekerasan.[6]
Menurut
lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang
langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka
berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan
pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan
(ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.[7]
Dari
berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau
masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara
saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu
bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat
yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling
menghancurkan.
Konflik
sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang
mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas.
Dalam
bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk
mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf
pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan
atau saingannya.
B. Bentuk-bentuk Konflik
Secara
garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa bentuk konflik berikut ini :
a.
Berdasarkan sifatnya
1.
Konflik Destruktif
Merupakan
konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam
dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi
bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda
seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2.
Konflik Konstruktif
Merupakan
konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan
pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik
ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan
menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah
organisasi.[8]
b.
Berdasarkan Posisi Pelaku yang
Berkonflik
1.
Konflik Vertikal
Merupakan
konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki
hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam
sebuah kantor.
2.
Konflik Horizontal
Merupakan
konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang
relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
3.
Konflik Diagonal
Merupakan
konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh
organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang
terjadi di Aceh.[9]
Soerjono
Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
1.
Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu
konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan
dan sebagainya.
2.
Konflik atau pertentangan rasial, yaitu
konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
3.
Konflik atau pertentangan antara
kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan
kepentingan antar kelas sosial.
4.
Konflik atau pertentangan politik, yaitu
konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang
atau kelompok.
5.
Konflik atau pertentangan yang bersifat
internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian
berpengaruh pada kedaulatan negara.[10]
Sementara
itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam,
yaitu sebagai berikut :
1.
Konflik antara atau yang terjadi dalam
peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah
suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari
bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
2.
Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3.
Konflik antara kelompok-kelompok yang
terorganisir dan tidak terorganisir.
4.
Konflik antara satuan nasional, seperti
antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional.[11]
C. Faktor-faktor Penyebab Konflik
Para
sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan
sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber
kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat
terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.[12]
Ketidak
merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap
sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak
tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan
asset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan
pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga
menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut
sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai
status need. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua,
yaitu:
1. Kemajemukan horizontal,
yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti
suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan
profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan
cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang
masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing
penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya
tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada
konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat
menimbulkan perang saudara.
2. Kemajemukan vertikal,
yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan,
pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik
sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian
besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak
memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan
benih subur bagi timbulnya konflik sosial.[13]
Namun
beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik-konflik, diantaranya yaitu:
1. Perbedaan pendirian dan keyakinan.
Perbedaan
pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar
individu.[14]
Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter
yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang
mempengaruhi timbulnya konflik sosial.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi
salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah
pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan
individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu
kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang
mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang
sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut. Kamu yang bertindak
selaku moderator melakukan interupsi dan mencoba meluruskan pertanyaan untuk
kembali ke permasalahan pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi menganggap
kelompokmu payah dan tidak siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan pandangan
dan pendirian tersebut akan menimbulkan perasaan amarah dan benci yang apabila
tidak ada kontrol terhadap emosional kelompok akan terjadi konflik.
Perbedaan
kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi
bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan
pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dikalangan
khalayak kelompok yang luas.
Selain
itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu
sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang
paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial
sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik
antar penganut kebudayaan.
Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian
dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan
menimbulkan terjadinya konflik sosial.
Contohnya adalah seseorang yang berasal dari
etnis A yang memiliki kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B.
Jika orang tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu
saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan kata lain
meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika
tetap melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.
Contoh
lain misalnya pada kebudayaan Jawa, saat anak di nasehati orang tuanya
hendaknya sang anak menunduk, dan akan dianggap sangat tidak sopan jika menatap
langsung ke mata orang tua yang menasehati. Sedangkan pada kebudayaan Batak,
sang anak justru dianggap tidak sopan ketika tidak menatap mata langsung
sewaktu dinasehati. Coba bayangkan jika seorang anak batak, yang sedang
dinasehati oleh orang tua Jawa.
3. Perbedaan kepentingan.
Mengejar
tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan
bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.[16]
Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri
Indonesia untuk mengikuti kontes ‘Ratu Sejagat’ atau ‘Miss Universe’. Dalam hal
ini pemerintah menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai kepentingan
untuk promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum agamis menolak
pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau adat ketimuran
(bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap sebagai suatu
bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru merelakan
wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah satu
persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian
untuk berenang).
4. Perbedaan
Struktur Ideologi.[17]
Istilah idiologi dapat berarti prinsip-prinsip
hidup yang dimiliki seorang individu ataupun kelompok. Ideologi dalam konteks
kenegaraan merupakan prinsip-prinsip dalam menyelenggarakan tata kehidupan
suatu negara. Perbedaan ideologi menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi yang
dapat menjadi sumber terjadinya konflik. Perbedaan ideologi antara individu
atau kelompok yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan perbedaan pola pikir
di antara kedua belah pihak. Selanjutnya dengan perbedaan pola pikir di antara
kedua belah pihak teresebut akan melahirkan pola aktivitas yang berbeda-beda
dan saling berhadapan untuk suatu kepentingan. Setiap struktur ideologi apapun
bentuknya mengandung 3 komponen pokok yaitu:
a.
Adanya paham dasar yang diyakini
b.
Adanya sejumlah pengikut yang setia
terhadap paham dasar tersebut
c.
Aktivitas kesetiaan terhadap ajaran
tersebut dalam bentuk loyalitas dan dedikasi yang sangat mendalam
Akibat
adanya 3 unsur di atas maka memungkinkan adanya perbedaan kepentingan dan
perbedaan pengembangan paham dasar yang diyakini dari satu kelompok yang satu
dengan kelompok lain. Disinilah titik terjadinya konflik antar kelompok
ideologi. Contoh: konflik antara paham komunis dengan paham kiberalisme dan
demokrasi.
5. Perubahan sosial yang terlalu cepat.
Perubahan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari
sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan
mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial di dalam masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena
dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya
perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat
akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan
masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Misalnya adanya proses industrialisasi pada masyarakat
pedesaan yang mendadak akan menyebabkan terjadinya konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat yang biasanya bercorak pertanian berubah
dengan cepat menjadi masyarakat bercorak industi. Nilai-nilai masyarakat yang
mengalami perubahan seperti seperti nilai kegotongroyongan yang diubah menjadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan dengan pekerjaannya.
Contoh lain misalnya kenaikan BBM atau tarif
listrik, termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang kurang
siap dan kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan tersebut.
6. Persaingan
penggunaan sumber daya.
Kebutuhan manusia modern saat ini semakin
meningkat dan hampir tidak ada batasnya. Sedangkan sumber daya alam yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sangat terbatas. Tiap hari manusia
memerlukan bahan bakar untuk transportasi mereka, untuk energi listrik,
batu-batuan dan kayu untuk tempat tinggal, dan sebagainya.
Sedangkan pembaharuan sumber daya alam
tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, tidak sebanding permintaan
masyarakat yang terus meningkat. Akibatnya para kelompok atau individu yang
berkepentingan berlomba untuk dapat menguasai sumber daya yang menguntungkan.
Pada proses penguasaan ini, tidak jarang menjadi konflik dalam masyarakat.
7. Persaingan kedudukan dan peranan.
Apabila dalam diri seseorang atau kelompok terdapat
keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai
kedudukan dan peranan terpandang maka terjadilah persaingan. Kedudukan dan
peranan yang dikejar tergantung pada apa yang paling dihargai oleh masyarakat
pada suatu masa tertentu.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik
merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang
dan waktu, dimana saja dan kapan saja.
Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena
pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik
dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan
sosial.
Untuk
dapat menyelesaikan konflik, maka perlu diketahui kenapa konflik dapat terjadi.
Diantara penyebab-penyebab terjadinya konflik secara sederhana dibagi menjadi 2
yakni:
1.
kemajemukan horizontal
2.
kemajemukan vertikal
Sementara
itu menurut beberapa sosiologi terdapat beberapa penyebab konflik, diantaranya:
1.
Perbedaan pendirian dan keyakinan
2.
Perbedaan kebudayaan
3.
Perbedaan kepentingan
4.
Perbedaan struktur ideologi
5.
Perubahan sosial yang terlalu cepat
6.
Persaingan penggunaan sumber daya
7.
Persaingan kedudukan dan peranan
Daftar Pustaka
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka.
Kusnadi.
2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan
Kinerja. Malang: Taroda.
Lauer,
Robert H. 2001. Perspektif Tentang
Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Lawang,
Robert. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar
Sosiologi. Jakarta: universitas terbuka.
Narwoko,
J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2005. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Setiadi,
Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar
Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soekanto,
Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto,
Soerjono. 1992. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Susanto, Astrid. 2006. Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
T.,
Priyono. 2012. Sosiologi untuk Kelas XI
SMA/MA. Jawa Timur: Masmedia.
Zeitlin, Irving M. 1998.
Memahami Kembali Sosiologi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
[1] Priyono
T, Sosiologi
untuk Kelas XI SMA/MA, (Jawa Timur: Masmedia, 2012), hlm. 41
[2] Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar
Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 345.
[3] Irving
M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 156
[4] Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 587
[5] Soerjono
Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 99
[6] J. Dwi
Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm.
68
[7] Robert
lawang, Buku Materi Pokok Pengantar
Sosiologi, (Jakarta:universitas terbuka 1994), hlm. 53
[8] Dr. Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2001), hlm. 98
[9] Kusnadi, Masalah
Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, (Malang : Taroda, 2002), hlm. 67
[10] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992), hlm. 86
[11] Dr. Robert H. Lauer, op.cit., hlm. 102
[12] Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, op.cit., hlm.
361
[13] Ibid,
hlm. 361
[14] J. Dwi
Narwoko dan Bagong Suyanto, op.cit.,
hlm. 68
[15] Ibid,
hlm. 68
[16] Astrid
Susanto, Pengantar Sosiologi Dan
Perubahan Sosial, (Bandung:Bina Cipta, 2006), hlm. 70
[17] Priyono
T., op.cit, hlm. 43
Komentar
Posting Komentar